Refleksi Pemikiran HM Rasjidi dalam Bedah Disertasi

Dalam dunia pendidikan dan pemikiran Islam, nama HM Rasjidi tentu sudah tidak asing. Pria kelahiran Kotagede, Yogyakarta 20 Mei 1915 ini dikenal sebagai intelektual Muslim yang cerdas dan tegas. Jika kebanyakan orang yang belajar ke Barat berubah haluan menjadi kebarat-baratan, Rasjidi justru sangat kritis terhadap pemikiran Barat, baik ketika menuntut ilmu di Barat maupun setelah kembali ke Indonesia.

Tahun 1975 Rasjidi mengirimkan sebuah surat rahasia kepada Departemen Agama tentang bahaya kekeliruan studi Islam di Perguruan Tinggi, tepatnya di IAIN. Namun suratnya itu seperti membentur tembok keras dan tak kunjung ditanggapi. Akhirnya dua tahun kemudian Rasjidi menerbitkan laporannya tersebut dalam sebuah buku yang berjudul Koreksi terhadap Dr. Harun Nasution tentang Islam Ditinjau dari Berbagai Aspeknya.
Pemikiran kritis HM Rasjidi yang dituangkan dalam buku tersebut dan buku-buku lain yang ditulisnya kemudian dibedah oleh Dr. Nashruddin Syarief M.Pd.I – peserta Program Kaderisasi 1000 Ulama, BAZNAS-DDII- yang belum lama ini lulus dari PPs UIKA dengan Disertasi yang berjudul Pemikiran H.M Rasjidi tentang Metodologi Studi Islam di Perguruan Tinggi. Acara bedah disertasi ini diselenggarakan pada hari Jum’at, 13 Desember 2013 di Ruang Pertemuan lantai 2 Gedung DDII, Salemba, mulai pukul 13.30-15.30 WIB.

“Menurut H.M Rasjidi, kekeliruan utama studi Islam kaum orientalis yang banyak diajarkan di perguruan tinggi Islam di Indonesia adalah menempatkan Islam sebagai gejala sosial dan dapat ditemukan dalam setiap kelompok manusia.” Kata Dr. Nashruddin.

“Konsekuensi dari pemikiran keliru semacam ini adalah menjadikan kedudukan agama Islam bukan sebagai agama wahyu, namun sama dengan agama lainnya. Metode penelitiannya pun hanya memperhatikan aspek historisitasnya saja dengan mengenyampingkan wahyu. Pada akhirnya, hal itu akan membawa pada berbagai kesimpulan yang keliru juga seperti hadits-hadits dha’if menjadi bukti bahwa kebenaran hadits tidak sama dengan kebenaran al-Qur’an, Syi’ah dan Khawarij adalah bagian dari Islam, sejarah berdarah seputar peralihan kekuasaan dalam Islam dianggap sebagai bagian politik Islam dan sebagainya.” Tegasnya lagi.

Padahal, sebagaimana dikutip Dr. Nashruddin dalam salah satu bagian Disertasinya, H.M Rasjidi sudah menegaskan.

“untuk mengetahui Islam dan ajaran-ajarannya, sesungguhnya dengan mudah orang menyelidikinya dalam Al-Qur’an dan Hadits, kedua-duanya mengandung ajaran-ajaran yang kadang-kadang belum dapat difaham pada zaman dahulu karena keadaan yang belum membuka mata manusia. Cara tersebut di atas adalah cara seorang Islam untuk menggali ajaran Islam. Seorang orientalis apalagi yang mempunyai dasar benci kepada Islam, ia tidak akan menyelidiki ajaran Qur’an dan Hadits, tetapi mencurahkan perhatiannya kepada sejarah umat Islam yang sering menyeleweng dari ajaran Qur’an dan Hadits. dengan cara tersebut di atas, mereka memberi gambaran yang jelak tantang Islam, seakan-akan keadaan yang jelek itu adalah hasil daripada ajaran Islam.”

Setelah mengkaji dan menyampaikan pemikiran H.M Rasjidi, Dr. Nashruddin M.Pd.I kemudian menyimpulkan bahwa:

  1. Metodologi studi Islam tidak bisa menggunakan paradigma Barat yang menolak kekhasan Islam sebagai agama wahyu dan juga menolak keilmiahan wahyu itu sendiri. Metodologi studi Islam harus menempatkan Islam secara objektif sebagai agama wahyu dan dengan wahyu sebagai salah satu komponen keilmiahannya.
  2. Metodologi studi Islam bisa ditujukan pada Islam sebagai agama wahyu dan Islam yang berkembang dalam sejarah. Metodologi studi Islam yang ditujukan pada Islam sebagai agama wahyu menggunakan kerangka teori yang berlaku dalam ulum al-din. Sementara metodologi studi Islam yang ditujukan pada Islam yang berkembang dalam sejarah menggunakan teori yang berlaku dalam metodologi penelitian budaya dan sosial.
  3. Islam adalah agama wahyu. Sesuatu bisa dinyatakan sebagai bagian Islam jika didasarkan pada wahyu atau sesuai dengan wahyu. Jika tidak didasarkan pada wahyu atau bertentangan dengan wahyu, maka tidak bisa dinyatakan sebagai bagian dari Islam. Maka dari itu, pola hubungan antara metodologi studi Islam sebagai agama wahyu dengan metodologi studi Islam sebagai produk sejarah harus linier, di mana wahyu memandu metodologi penelitian budaya dan sosial.

Ketua Program Doktor Pendidikan Islam UIKA, Bogor, Dr. Adian Husaini M.Si, yang juga menjadi pembicara pada acara siang itu menegaskan perlunya memperkenalkan pemikiran-pemikiran H.M Rasjidi kepada umat Islam. Menurutnya, sejak empat puluh tahun yang lalu, Rasjidi sudah mengingatkan umat Islam akan bahaya kekeliruan pemikiran Barat dalam studi Islam di perguruan tinggi. Apa yang dikhawatirkan Rasjidi, kini sudah menjadi kenyataan. Studi Islam di perguruan tinggi saat ini telah terhegemoni dengan framework Barat Sekular yang memandang Islam bukan sebagai agama wahyu melainkan sebagai produk budaya.
Acara siang hari itu juga dihadiri oleh Bapak Kasim Rasjidi, putra ketiga H.M Rasjidi yang menyambut gembira sekaligus terharu dengan diadakan acara tersebut. Dalam sambutan singkatnya, Kasim Rasjidi tidak bisa menyembunyikan perasaan harunya itu sambil menahan air matanya. “Saya seperti tertampar baru sadar akan pemikiran-pemikiran Bapak yang begitu besar.” Katanya.
Sebagai penutup acara, Ketua Umum DDII, Ustadz Syuhada Bahri mengharapkan agar Dr. Nashruddin Syarief bisa membukukan hasil penelitiannya itu dan menuliskannya dengan bahasa yang mudah dicerna oleh masyarakat. Beliau juga mendukung penuh acara bedah disertasi ini dan berharap akan ada disertasi-disertasi lain yang akan dibedah agar manfaatnya lebih luas diterima oleh umat Islam.

Mungkin Anda juga menyukai