Dari Puasa Mengharap Pemimpin Taqwa

ppsuika.ac.id – Penentuan Hari Jumat, dalam ibadah pekanan, umat Islam bisa bersatu, seyogyanya dalam ibadah tahunan pun, bisa bersatu pula. Di hampir seluruh negeri Islam, tidak kita temukan masing-masing tokoh atau organisasi Islam berlomba-lomba mengumumkan ijtihad-nya masing-masing. Perbedaan ijtihad memang dimungkinkan, tetapi alangkah indahnya jika ada keikhlasan meninggalkan ijtihad demi persatuan umat. Ini hanya harapan dan imbauan. Akhirnya terpulang kepada para tokoh dan pemimpin organisasi Islam.

Apapun kondisinya, kita diperintahkan melaksanakan puasa Ramadhan agar menjadi orang taqwa. Puasa begitu dominan aspek ibadah fisik; menahan makan-minum dan berbagai aktivitas yang membatalkan puasa. Tapi, uniknya, tujuan disyariatkannya puasa Ramadhan (QS 2:183) adalah supaya kita menjadi taqwa (la’allakum tattaqun), bukan supaya kita “jadi kurus”. Puasa adalah ibadah fisik, tetapi dampak yang diharapkannya adalah kesehatan jiwa. “Sungguh telah meraih kemenangan, orang yang mensucikan (jiwa)nya, dan merugilah orang yang mengotorinya.” (QS 91:9-10).

Jiwa manusia diberi kemampuan oleh Allah untuk memilih yang baik dan yang buruk. (QS 91:8). Beruntunglah orang yang mau mensucikan jiwanya, dan merugilah orang yang mengotori jiwanya. Imam Ibn Katsir, dalam tafsirnya, menjelaskan, bahwa maksud mensucikan jiwa adalah menjalankan ketaatan kepada Allah SWT. Ada doa khusus yang dibaca Rasulullah saw saat membaca ayat ini: “Allahumma Ẩti nafsiy taqwâhâ Anta waliyyuhâ wa-mawlâhâ wa khayru man zakkâhâ.”(Ya Allah, berikanlah kepada jiwaku ketaqwaannya, Engkaulah wali dan Tuannya; dan Engkaulah sebaik-baik yang mensucikannya).

Manusia adalah makhluk yang terdiri atas jiwa dan raga.Keduanya merupakan satu kesatuan yang unik dalam membentuk sosok bernama “manusia”. Islam tidak mengenal pemisahan yang ekstrim antara tubuh dan jiwa, sehingga ibadah dalam Islam juga memadukan dimensi jiwa dan raga. Sholat, haji, puasa, dan sebagainya, merupakan paduan yang harmonis dan unik antara aspek jiwa dan raga.Dalam shalat, orang diwajibkan suci lahir dari hadats dan najis.Secara batin, dia pun harus suci dari penyakit jiwa, seperti riya’ dan ujub. Puasa dalam Islam adalah ibadah yang secara ketat melatih badan untuk tidak melakukan hal-hal yang membatalkan puasa. Namun, pada saat yang sama, puasa harus didasarkan pada aspek kejiwaan, seperti niat yang ikhlas karena Allah. Begitu pula berbagai jenis ibadah lainnya.

Islam tidak mengenal pemisahan yang ekstrim antara jiwa dan raga, sebagaimana pandangan sebagian kaum sekuler yang menganggap bahwa dosa manusia adalah semata-mata karena dosa kejiwaan. Kata mereka, bisa saja seorang menjadi pelacur demi memenuhi kebutuhan ekonomi, sementara jiwanya tetap suci. Sebab, kata mereka, yang melacur hanya tubuhnya. Sementara jiwanya tetap suci.

Konsep separasi jiwa-raga semacam itu, sangat berbeda dengan konsep pembinaan jiwa Islam. Seorang yang melacurkan tubuhnya, misalnya, tetap dipandang berdosa dan mengotori jiwanya, meskipun ia melacur demi membantu ekonomi keluarganya. Laki-laki dan perempuan yang berzina, meski tidak saling merugikan, tetap merupakan kejahatan serius dalam Islam. Sama halnya, kejahatan korupsi, tetap dipandang berdosa, meskipun ia mengaku jiwanya tetap suci selama korupsi, sebab ia korupsi untuk tujuan pembangunan musholla.

Itulah indahnya ibadah dalam Islam. Begitu ketat dan jelasnya petunjuk Rasulullah saw dalam pelaksanaan ibadah puasa, baik secara jasmani maupun rohani. Selama puasa, kita dilatih secara fisik, menahan lapar dan dahaga, dan pada saat yang sama, diharuskan menjalani puasa batin agar menjaga diri dari berbagai penyakit hati yang dapat merusak ibadah puasa. Niat baik saja tidak cukup.Niat baik harus juga disertai dengan cara yang baik, yang sesuai dengan ajaran Nabi saw.

Saat Ramadhan, tiap Muslim dilatih dengan keras untuk mensucikan jiwa dengan cara menundukkan hawa nafsu. Nafsu harus ditundukkan, bukan dibunuh. Rasulullah saw pernah menegur sahabatnya yang mencoba-coba hendak berpuasa terus-menerus tanpa berbuka. Begitu juga sahabat yang enggan menikah karena menyangka pernikahan menjauhkannya dari ketaqwaan. Islam bukan agama yang ekstrim, yang terjebak dalam kutub materialisme ekstrim atau spiritualisme yang kebablasan, seperti mengharamkan pernikahan yang dihalalkan oleh Allah.

Maka, manusialah yang harus mengendalikan nafsunya; dan bukan sebaliknya, dikendalikan oleh hawa nafsunya.“Adapun orang yang durhaka, dan mengutamakan kehidupan dunia, maka neraka Jahim-lah tempat dia. Sedangkan orang yang takut akan kebesaran Tuhannya, dan menahan diri dari hawa nafsunya, maka sorgalah tempat dia.” (QS 79:37-41)

Nabi saw bersabda: “al-mujaahid man jaahada nafsahu”(HR Tirmidzi). Seorang mujahid adalah orang yang berjuang menundukkan nafsunya.Menundukkan nafsu adalah jihad yang besar, sehingga perlu dilakukan dengan sungguh-sungguh.Dengan segala macam latihan ibadah yang sungguh-sungguh (mujahadah), kita berharap menjadi mukmin yang bahagia, memiliki nafsu yang tenang (nafsul-muthmainnah).“Wahai nafsul-muthmainnah (wahai jiwa yang tenang), kembalilah kepada Tuhanmu dengan penuh ridha dan diridhai.” (QS 89:27-28).

Imam Ibn Katsir menyatakan, bahwa saat sakaratul maut, dan saat di akhirat nanti, hamba Allah dengan jiwa yang tenang (muthmainnah) akan mendapatkan seruan: “Hai jiwa yang tenang. Kembalilah kepada Tuhanmu,” dengan hati yang ridha dan diridhai, yakni “dia rela menjadikan Allah sebagai Tuhannya dan Allah pun ridha menjadikan dia sebagai hamba yang dikasihi-Nya.

Ibnu Katsir mengutip sebuah doa Rasulullah saw: “Ya Allah, aku memohon kepada-Mu akan jiwa yang tenang yang beriman akan perjumpaan dengan-Mu dan ridha atas keputusan-Mu dan merasa puas dengan pemberian-Mu.” (Allahumma inniy as’aluka nafsan muthmainnatan tu’minu bi-liqâika wa-tardha bi-qadhâika wa-taqnau bi-‘athâika).

Pemimpin taqwa
Pemimpin yang berhasil meraih derajat taqwa setelah puasa Ramadhan tentulah pemimpin yang beruntung. Derajat taqwa begitu tinggi dan mulia kedudukannya. Orang taqwa pasti bahagia dan selalu merasa “bersama Allah”. Ia tidak berani berbuat semaunya sendiri dengan mengabaikan ketentuan Allah SWT. Orang taqwa akan selalu ingin dicintai Allah, sehingga ia sangat berhati-hati melaksanakan aktivitas kehidupannya.

Saat catatan ini dibuat, Indonesia sedang menunggu proses pergantian presiden. Siapa pun yang akhirnya menjadi presiden, kita berharap, ia menjadi pemimpin yang sukses ibadah puasa Ramadhannya, sehingga ia menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa. Salah satu ciri pokok orang-orang yang bertaqwa adalah “yu’minuuna bil-ghaibi”; mereka beriman kepada al-ghaib.

Puasa Ramadhan telah mendidik orang Muslim untuk tidak menjadi penganut paham sekulerisme atau materialisme. Selama Ramadhan, kaum muslim memiliki cara pandang yang berbeda dengan kaum materialis atau sekuler. Hari-hari di bulan Ramadhan secara fisik tidak berbeda dengan hari-hari di bulan Rajab atau Sya’ban. Tetapi, karena cara pandang yang melampaui batas dunia dan batas alam materi, maka kaum Muslim memiliki sikap dan tindakan yang berbeda dalam memaknai bulan Ramadhan. Pandangan kaum Muslim semacam ini sangatlah ilmiah, karena didasarkan pada sumber ilmu yang kokoh, yaitu wahyu Allah SWT, bukan semata-mata bertumpu pada aspek materi dan dimensi keduniaan semata.

Orang yang sukses puasa Ramadhannya, pasti tidak akan mau menzalimi orang lain; takut mengambil hak orang lain; khawatir dimurkai Allah jika membuang sampah sembarangan, karena sampah itu bisa mencelakai orang banyak. Orang yang bertaqwa semacam ini akan menjadi rahmat bagi manusia-manusia lainnya. Jika pemimpin negara benar-benar bertaqwa, ia akan membawa dampak besar bagi kemaslahatan masyarakat.

Maka, pemimpin negara wajib paham benar apa yang dimaksud dengan taqwa. Jangan hanya rajin mengucap taqwa, tapi tidak terbukti dalam sikap dan tindakan. Allah sangat murka dengan orang-orang yang mengucapkan saja apa yang tidak dikerjakannya. (QS 61:2). Sebagai contoh, seorang pemimpin taqwa, ia pasti takut jika Allah SWT tidak ridho kepadanya. Maka, ia akan selalu berusaha merumuskan program-program kerjanya sesuai dengan ketentuan Allah SWT.

Misal, jika Allah sangat murka dengan dosa syirik, maka pemimpin yang bertaqwa pasti tidak akan memberikan ruang yang sama antara tauhid dan syirik untuk dikembangkan, dengan alasan menghormati hak asasi manusia dalam soal kebebasan beragama. Pemimpin yang bertaqwa pasti berusaha keras untuk mengalokasikan anggaran sesuai prioritas kebutuhan rakyat. Jika banyak rakyat susah makan, susah mendapat layanan kesehatan yang layak, sulit mendapat pendidikan yang memadai, dan sebagainya, maka sang pemimpin tidak akan menggunakan anggaran negara untuk membuat patung-patung atau berpesta pora di acara Tahun Baru dan sejenisnya.

Pemimpin yang bertaqwa akan berdampak besar pada kebaikan rakyat. Sebab, kata Imam al-Ghazali, rakyat rusak gara-gara pemimpinnya rusak. Dan pemimpin itu rusak akibat ulama-ulamanya yang rusak. Ulama itu pun rusak akibat cinta dunia dan cinta jabatan. Maka, kewajiban kita – sebagai rakyat – adalah senantiasa mengingatkan pemimpin kita agar berusaha menjadi pemimpin yang taqwa atau pemimpin yang adil; jangan sampai menjadi penguasa yang jahat atau salah jalan. Karena ketiadaan ilmu, maka ia menyangka telah berbuat baik, padahal jalannya keliru dan sesat. Itulah orang yang paling merugi amalnya di dunia. (QS 18:103-104).

Pemimpin yang taqwa adalah pemimpin yang adil. Inilah salah satu dari tujuh golongan yang akan diberi perlindungan oleh Allah, di hari kiamat; saat dimana tidak ada tempat berteduh sama sekali. Syarat utama menjadi imam yang adil (imamun ‘adilun) adalah memahami konsep “adil” dalam Islam. Adil bukan kebijakan “tanpa diskriminasi” antara aliran yang benar dengan aliran yang sesat, seperti promosi iklan TV seorang tokoh liberal. Jika negara melarang eksistensi kelompok penyembah setan dan kelompok ritual seks bebas – meskipun tidak mengganggu orang lain – itu bermakna negara telah berlaku adil.

Jika negara melarang perkawinan homo dan lesbi, maka itu adil juga maknanya. Negara justru berlaku tidak adil, jika membiarkan ritual perkawinan antara manusia denga monyet, dengan alasan hak asasi manusia. Pun bukan adil namanya, jika pemimpin lebih memilih aturan setan ketimbang aturan Allah SWT, seperti aturan yang menghukum orang yang menikah secara sah menurut agama, tetapi malah memberi sarana kepada para pezina. Sang pemimpin adil pasti meyakini, bahwa aturan Allah pasti lebih baik dibandingkan aturan setan atau aturan kolonial.

Contoh lain, jika pemimpin negara mewajibkan seluruh siswa muslim lulus bahasa Inggris tetapi tidak mewajibkan lulus ujian ibadah dan akhlak mulia untuk syarat kelulusan, maka pemimpin itu telah berlaku tidak adil. Sebab, meletakkan ilmu fardhu ain di bawah ilmu fardhu kifayah atau bahkan ilmu yang mubah. Karena itu, agar selamat dari azab Allah di akhirat, calon pemimpin negara wajib belajar dan memahami, apa makna adil yang sebenarnya. Adil bukan ditentukan berdasarkan tradisi, selera suara mayoritas, atau opini media massa. Tetapi, adil ditentukan oleh wahyu. Al-Quran sudah menjelaskan dengan sejelas-jelasnya, bahwa orang mukmin berbeda derajatnya dengan orang kafir atau munafik.

Itulah berat dan rumitnya menjadi pemimpin yang adil. Kekuasaan adalah milik Allah, dan akan diberikan kepada siapa saja yang dikehendakinya. Kita tidak patut silau dengan posisi dan jabatan pemimpin negara atau pemimpin pada tingkat-tingkat di bawahnya. Sebab, para pemimpin itu akan bertanggung jawab dan diadili secara langsung oleh Satu-satunya Hakim di Hari Akhir nanti. Makin tinggi jabatan, makin berat pula pertanggungjawabannya. Dalam perspektif ini, kita patut menaruh belas kasihan kepada pemimpin negara kita. Jika mereka berlaku tidak adil – yakni berlaku zalim – sungguh azab Allah sangatlah pedih.

Sebagai langkah praktis, alangkah indahnya, jika Presiden kita mendatang memiliki program serius untuk mengaji kepada ulama-ulama yang tinggi ilmunya, soleh dan zuhud. Rajinlah datang kepada para ulama, seperti saat kampanye. Jangan menunggu ulama yang datang. Jika belum baik bacaan al-Qurannya, maka sungguh hebat jika Presiden kita mau belajar mengaji al-Quran dari tingkat awal agar tidak lama lagi bisa menjadi khatib dan imam shalat Jumat. Sikap dan tindakan Presiden ini akan menjadi contoh yang luar biasa baiknya bagi seluruh rakyat Indonesia. Di masa Nabi saw pun banyak sahabat yang baru belajar Islam secara sungguh-sungguh setelah masuk Islam pada usia 40 dan 50 tahunan. Bahkan, kita bisa berharap, tidak terlalu muluk-muluk, minimal seminggu sekali, Presiden kita tampil di TV, jam 3 pagi, membangunkan rakyatnya untuk sholat tahajjud.

Ini sekedar harapan. Semoga bisa terwujud. Kita berharap, Presiden tidak membuat janji-janji dan program yang mendorong rakyat menjadi semakin pragmatis dan hedonis. Jangan sampai rakyat didorong untuk mencontoh perikehiduan orang-orang kafir: “Orang-orang kafir itu bersenang-senang dan makan-makan sebagaimana makannya binatang-binatang, dan neraka adalah tempat mereka.” (QS 47:12).

Orang mukmin juga makan-makan dan bersenang-senang menikmati makanan serta kesenangan hidup lainnya. Tetapi, orang mukmin tidak menjadikan makan dan segala kenikmatan duniawi sebagai tujuan hidup dan kenikmatan tertinggi, sebab mereka memiliki tujuan kehidupan yang lebih tinggi, yaitu mengenal dan beribadah kepada Allah. Itulah kebahagiaan yang sejati. Zikir kepada Allah adalah menentramkan jiwa.

Betapa banyak manusia tertipu dengan kenikmatan duniawi. Ia menyangka akan bahagia saat mereguk segala syahwat dunia. Ternyata kesenangan dunia itu menipunya. (QS 3: 185). Lihatlah, betapa banyak manusia tersohor dan bergelimang harta serta kebebasan, akhirnya hidup dalam keresahan dan berujung kepada obat-obatan terlarang bahkan berakhir dengan bunuh diri.Karena itulah, kita diingatkan, agar jangan terkecoh dan terpedaya oleh kebebasan yang dinikmati oleh orang-orang kafir di dunia ini.“Janganlah kamu terpedaya oleh kebebasan orang-orang kafir di negeri(nya). Itu kesenangan yang sedikit, kemudian tempat mereka adalah Jahannam. Alangkah buruknya tempat itu!” (QS 3:196-197).

Jadi, sangat keliru sebenarnya, menyebut negara-negara sekuler-liberal dan orang-orang kafir sebagai “negara maju” atau “orang yang maju”, sebab secara kejiwaan mereka tidak pernah maju; tidak pernah mendekat (taqarrub) kepada Allah SWT. Hidup mereka hanya berputar-putar seputar syahwat dan ilusi. Negara maju adalah negara taqwa. Allah SWT sudah menjamin, bahwa: “Andaikan penduduk suatu negeri mau beriman dan bertaqwa, maka pasti akan Kami buka pintu-pintu barakah dari langit dan bumi. Tetapi mereka mendustakan (ajaran-ajaran Allah), maka Kami azab mereka, karena perbuatan mereka sendiri” (QS Al A’raf:96).

Al-Quran Surat al-A’raf ayat 96 tersebut dengan sangat gamblang memberi kabar gembira, bahwa jika suatu bangsa mau mendapatkan kucuran rahmat dan dijauhkan dari berbagai musibah, maka iman dan taqwa harus dijadikan sebagai nilai tertinggi dalam pengambilan kebijakan dan keputusan. Ulama-ulama yang baik perlu dijadikan rujukan dalam merumuskan konsep-konsep pembangunan. Ulama jangan hanya dikibuli untuk cari dukungan suara, dan setelah itu aspirasi mereka diabaikan. Mereka hanya dipanggil jika perlu sekedar untuk formalitas baca doa di akhir acara.

Akhirul kalam, semoga pemimpin negara kita dan pemimpin lainnya diberi petunjuk oleh Allah SWT dan dibimbing untuk dapat menjalankan amanah dengan baik, sehingga menjadi pemimpin yang bertaqwa dan yang adil. Aamiin.*. Depok, 1 Syawal 1435 H/28 Juli 2014)

Oleh: H. Adian Husaini, M.Si.,Ph.D
_____
Sumber: adianhusaini.com

You may also like...